Cari Blog Ini

Minggu, 17 Juli 2011

Nyatakan Kasih Dengan Tenun

Jika kilau emas dan berlian sebagai kado Valentine lainnya menuai banyak masalah. Dan
hari kasih sayang masih dirasa penting untuk dimeriahkan. Bagaimana tetap dapat
menunjukkan kasih sayang, tanpa melukai lingkungan dan kemanusiaan? Nyatakanlah
kasihmu dengan Tenun!
Tenun merupakan kain tradisional khas di hampir seluruh daerah Indonesia, mulai dari
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Sulawesi, Nusa Tenggara hingga Papua. Tenun
memiliki makna, nilai sejarah, dan teknik yang tinggi dari segi warna, motif, dan jenis
bahan, serta benang yang digunakan. Setiap daerah memiliki semua kekhasan itu.
Erny Tallo, 2005 di dalam bukunya “Pesona Tenun Flobamora” menggolongkan tekhnik
menenun ke dalam tiga kelompok, yaitu, tenun ikat, tenun buna, dan tenun lotis. Ketiga
teknik yang diwariskan secara turun-temurun ini menghasilkan variasi jenis kain yang
mewakili tradisi setempat.
Motif yang dihasilkan pun cukup beragam mulai dari bentuk fauna (zoomorpic), figur
manusia (antropomorph), stilisasi tumbuhan (flora), geometris serta replika ragam hias
kain patola India. Untuk kain tenun Rote, hiasan motifnya bernuansa geometris dan motif
tumbuhan dengan ukuran tertentu seperti motif kembang delapan, jelamprang, tangkai
bunga dengan warna dasar hitam (Dula Nggeo) dikombinasikan dengan warna merah,
putih dan biru hitam. Untuk kain tenun Sabu, motif yang dikembangkan bernuansa
lingkungan flora dan fauna seperti motif bunga, daun lontar, burung, ayam dan kuda.
Terlepas dari ragam motif tadi, kain tenun pada mulanya hanya berupa sarung (untuk
perempuan) yang dibuat 2-3 bulan. Sementara selimut (untuk laki-laki) dibuat antara 5-6
bulan. Harganya pun bervariasi, umumnya sebuah selendang berukuran 0,5 x 1,5 meter,
harganya berkisar Rp 50 ribu - Rp 75 ribu. Namun seiring bergantinya waktu, modifikasi
tenun menghasilkan bermacam motif dan model, mulai dari bahan safari, aneka tas,
taplak meja, bed cover, hiasan dinding, hingga aneka cinderamata lainnya.
Modifikasi itu sesungguhnya dilakukan atas kesadaran, bahwa gaya hidup publik
semakin tergerus, seiring gemerlap kehidupan anak muda yang terkepung budaya lain—
lebih tepatnya westernisasi. Lihat saja di desa-desa dan kampung-kampung Sumba,
Jarang sekali terlihat anak muda tekun menenun. Yang tersisa hanya generasi senja yang
jumlahnya semakin menyusut. Generasi penerus bangsa ini lebih memilih sibuk dengan
cara khasnya, mulai dari berkirim pesan pendek sembari tersenyum sendiri, cekikikan,
dan sejurus kemudian menangis sesenggukan, di depan HP dan layar komputer.
Karenanya, sekalipun pemerintah Belanda tahun 2004, pernah menganugerahi “Prince
Claus Award” pada tenun ikat NTT khususnya para penenun tradisional dari Kecamatan
Biboki, Kabupaten Timor Tengah Utara. Dan mantan Gubernur NTT, Herman
Musakabe, berbaik hati menjadikan tenun ikat sebagai pakaian seragam para PNS.
Namun semua itu belum cukup kuat untuk mengembalikan tradisi tenun, yang sudah
kadung sekarat.


Akan Tinggal Kenangan?


Sekitar 50-an tahun silam masyarakat Biboki tidak saja menjadikan tenun sebagai
pakaian adat, tetapi lebih dari itu sebagai sumber kehidupan. Sejumlah perempuan
berkumpul saling bantu merajut kapas menjadi benang, memintal benang, dan kemudian
merakitnya menjadi kain Tenun yang disebut Songket. Tenun buat komunitas Biboki
adalah sebuah ikatan cinta, kasih dan kekeluargaan.
Menariknya, bahan pembuat tenun dengan mudah mereka dapatkan—tanpa merogoh
kocek sesenpun. Para pekerja yang mayoritas perempuan, memunguti buliran kapas yang
banyak tersebar di semak-semak padang ilalang Biboki. Dengan cekatan perempuan
terampil itu memilah kapas yang nyaris beterbangan, mirip dengan tradisi tanam padi
yang banyak dilakukan perempuan Jawa.
Sesekali terdengar cekikikan dari obrolan khas yang mengalir ringan tanpa batas ruang.
Tak jarang terdengar teriakkan salah satu dari mereka, untuk bertanya hasil pungutan
kapas dari kelompok lain di seberangnya, atau sekedar menggoda dengan canda khas
masyarakat desa. Cara ini digunakan para pekerja untuk mengusir penat, hingga fajar
memuncah di ufuk barat.
Andai saja tradisi itu masih lestari, pemandangan padang ilalang yang kala itu diguyur
senja merah kekuningan, dan para perempuan yang sibuk menjinjing karung kapas,
berjalan pulang secara berkelompok, menjadikan rona senja semakin indah.
Sayang, sejak pemerintah menerapkan program reboisasi dengan melakukan penanaman
sejuta pohon, di padang ilalang yang sebelumnya banyak ditumbuhi kapas liar. Tradisi
membuat songket mengalami penurunan. Para pengrajin yang belum dikarunia modal
besar merasa kesulitan untuk mengganti kain kapas yang mudah didapat secara gratis,
dengan benang yang harganya bisa mencapai Rp. 2.000. Jika satu kain membutuhkan 200
benang, dapat dibayangkan berapa ratus ribu uang yang harus disisihkan pengrajin.
Padahal sebelumnya mereka cukup mengumpulkan 5 kg kapas padang ilalang.
Pewarna alami yang kala itu menjadi satu-satunya pewarna tenun, tidak saja lebih
bertahan lama, sekitar 10 tahunan, dibanding pewarna kimia (wantek) yang hanya
bertahan 6 tahun. Tetapi lebih dari itu dapat meringkankan beban pengrajin secara
ekonomi. Mereka cukup meluangkan waktu untuk mengambil kunyit, mengkudu, nila,
daun kacang, dan kulit pohon noba yang sebelumnya mereka tanam di kebun dan
pekarangan rumah.
Tak hanya persoalan ekonomi, tergusurnya masyarakat dari tenun, membuat ruh budaya
yang sebelumnya melekat, kini semakin kehilangan makna. Di Palembang, sebelumnya
nilai perempuan yang akan menikah ditentukan kepandaiannya dalam menenun. Semakin
halus tenunannya, semakin wanita itu diangap baik. Konon, hasil tenunan mencerminkan
ketelitian, kesabaran, dan rasa keindahan pembuatnya. Mungkin, pada zaman sekarang,
hal seperti ini terasa mendramatisir, tetapi, nilai filosofis dari cerita itu adalah betapa
pentingnya makna tenun bagi masyarakat.
Di Molo, calon pengantinlah yang menenun selendang untuk diberikan kepada
rombongan keluarga mempelai, bersama Okomama, atau tempat sirih. Ini bentuk
penghormatan orang Molo terhadap keluarga pengantin.
Sementara di Sumba, Flores, dan Timor kain tenun kerap digunakan sebagai salah satu
mas kawin pernikahan—selain binatang ternak, yang akrab disebut “belis”. Budaya ini
dimaksudkan mempererat temali dua keluarga, sebab kain tenun tidak saja dikhususkan
bagi mempelai perempuan, tetapi juga dihadiahkan bagi keluarga besar yang sedarah.
Semakin tinggi status sosial, ekonomi, dan pendidikan perempuan, semakin banyak
jumlah Belis yang disertakan. Kelas masyarakat bawah biasanya hanya menghadiahi 3-5
lembar kain tenun, kelas menengah membawa 6-10 lembar, sedangkan Kelas atas
menghadiahi 10-20 lembar.
Saat publik gemar menggunakan cincin, permata, dan berlian dalam melangsungkan
pernikahan, model Bilis bisa menjadi alternatif. Saat 1 gram emas meninggalkan 2,1 ton
limbah lumpur tailing dan berpotensi merusak kehidupan di lokasi tambangnya, termasuk
penghidupan perempuan. Selembar kain tenun (bilis) yang dihasilkan dari 5 Kg kapas
dan puluhan kilogram pewarna alami, justru sanggup melestarikan ribuan meter persegi
lahan dan keberlanjutan komunitas. Pembuatan selembar tenun yang memakan waktu
relatif lama, merupakan pelajaran bagi kita, untuk tidak memandang tenun hanya sekedar
‘kain’. Lebih dari itu, motif dan warna yang digoreskan mencerminkan sebuah ikatan
cinta, kasih dan kekeluargaan. 



Oleh: Em. Lukman Hakim, JATAM

Kamis, 14 Juli 2011

Tenun Ikat, Aset Budaya Bernilai Ekonomis

 http://hermanmusakabe.nttprov.go.id/?p=113

Tenun Ikat, Aset Budaya Bernilai Ekonomis


SUATU hari di bulan Maret 2008. Dalam sebuah acara di Desa Ipir, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, berkumpul ratusan warga desa setempat. Warga dari beberapa tetangga di Kecamatan Bola dan sekitarnya juga hadir. Sekelompok anak muda, pria dan wanita, juga tampak. Mereka berkumpul dalam kelompok- kelompok menyaksikan kampanye salah satu pasangan Bupati dan Wakil Bupati Sikka periode 2008-2013. Yang menarik, meskipun Desa Ipir berada jauh dan terpencil dari Maumere, Ibu kota Kabupaten Sikka, jarak itu tidak mengurangi niat anak muda di desa ini untuk tampil modis dan dendi.

Para remaja datang mengenakan jelana jeans berbaju keluaran dan model terbaru dari toko. Gaya mereka pun mengikuti tren yang sedang berkembang. Sementara itu pada kelompok lainnya, sekelompok wanita juga datang ke tempat itu. Mereka hanya mengenakan kain sarung.
Sekilas tampak kuat perbedaan penampilan antara yang kelompok orangtua dan anak muda. Anak muda memilih pakaian-pakaian jadi yang modis, sementara orangtua masih mempertahankan tradisi dengan busana tradisional daerah setempat. Meski tampak sepele, ini sekaligus menunjukkan pergeseran budaya, dari budaya tradisional ke budaya modern dalam urusan memakai pakaian.
Pemandangan di Desa Ipir sebenarnya juga terjadi desa-desa lain di NTT. Para pemuda dan gadis desa zaman sekarang sudah mulai enggan mengenakan kain tenun ikat. Mereka lebih memilih busana jadi buatan pabrik dari bahan dan model yang trendi. Bila ini berlangsung terus, bukan tidak mungkin suatu saat tidak ada lagi yang mencintai dan karena itu mengenakan pakaian berbahan dasar tenun ikat.
Di tengah-tengah serbuan pakaian jadi buatan pabrik ke NTT, tenun ikat sebenarnya memiliki potensi ekonomi yang menjanjikan. Bahkan, perancang busana kenamaan, Ramli, pernah memamerkan busana rancangannya berbahan tenun ikat NTT dalam acara peragaan busana di Jakarta dengan melibatkan para peragawati dan peragawan kenamaan di Jakarta. Jelas, tenun ikat juga bisa dijadikan tren mode busana di tingkat nasional. Hanya saja, menurut Ramli, bahan tenun ikat NTT, perlu diperhalus lagi.
Di dunia internasional, tenun ikat NTT khususnya para penenun tradisional dari Kecamatan Biboki, Kabupaten Timor Tengah Utara pernah meraih Penghargaan Pangeran Claus (Prince Claus Award) dari Pemerintah Belanda tahun 2004.
Di tingkat propinsi, warga NTT mesti berterima kasih kepada Herman Musakabe. Adalah Musakabe, yang ketika menjadi Gubernur NTT, menjadikan tenun ikat pakaian seragam para PNS. Gebrakan Musakabe ini terus bertahan hingga sekarang. Hasilnya, tenun ikat melambung pasarnya. Ibu-ibu di desa-desa menjadikan tenun ikat lebih dari sekadar keterampilan. Tenun ikat meningkat menjadi home industry.
Seperti diungkapkan penulis buku Pesona Tenun Flobamora, Erny Tallo, masing-masing daerah di NTT memiliki motif dan teknik menenun sendiri-sendiri. Teknik menenun itu bisa digolongkan ke dalam tiga cara, yaitu tenun ikat, tenun buna, dan tenun lotis. Ketiga teknik yang diwariskan secara turun-temurun ini menghasilkan jenis kain yang berbeda-beda dengan beragam motif, sesuai dengan yang berkembang di daerah asalnya.
Sayang, potensi budaya tenun ikat ini berangsur hilang. Lihat saja di desa-desa dan kampung-kampung kita. Jarang terlihat anak muda tekun menenun. Yang sibuk menenun adalah generasi senja, sementara yang muda-muda tak terlihat menenun. Mereka lebih sibuk dengan HP di tangan, ber-SMS ria, tertawa dan senyum sendiri di depan HP.
Kita butuh terobosan. Kita butuh langkah berani, terutama dari pemerintah, bagaimana menunjukkan kepada anak muda sekarang bahwa tenun ikat punya nilai ekonomis tinggi. Bagaimana caranya? Herman Musakabe sudah membuka jalan dan menetapkan hari Kamis setiap minggu menjadi hari tenun ikat untuk PNS. Sekarang era otonomi daerah. Mestinya para kepala daerah lebih leluasa mengatur ihwal pemerintahan, termasuk dalam urusan pakaian seragam. Kalau Herman Musakabe sudah berhasil dengan PNS pada hari Kamis, mengapa tidak ada kepala daerah yang mewajibkan anak sekolah tidak mengenakan seragam tenun ikat?
Tak sulit membayangkan berapa rupiah yang dapat dituai para pengrajin tenun ikat jika saja para PNS dan anak sekolah di seluruh NTT sekali seminggu mengenakan motif tenun ikat sebagai seragam. Mari kita menghitung. Saat ini jumlah PNS di NTT sekitar 22 ribu orang. Jumlah ini belum termasuk karyawan honorer, bank dan lembaga keuangan non bank yang juga wajib mengenakan busana motif daerah NTT. Lalu, jumlah anak sekolah, dari TK hingga SLTA 250 ribu. Andaikata satu lembar kain tenun ikat harganya Rp 350 ribu. berapa duit yang dibelanjakan untuk tenun ikat? Puluhan miliar rupiah duit akan masuk ke rumah-rumah pengrajin di desa-desa dan kampung-kampung.
Bila saja pemerintah juga mencoba menambah frekuensi pemakaian motif tenun ikat dari satu hari menjadi dua hari seminggu, maka dana yang mengalir ke desa dan kampung itu menjadi berlipat-lipat. Dan, itu adalah dana riil, bukan dana proyek ini dan itu yang kadang-kadang cuma telihat plang nama proyek sementara hasil proyeknya suram-suram.
Sesama warga dari Jawa begitu fanatik dengan batik. Banyak dari kita juga telah jatuh cinta dengan batik. Sah-sah saja. Tetapi mengapa orientasi kita selalu ke luar, seolah-olah yang dari luar lebih baik dari yang ada pada kita? Mengapa yang ada pada kita cenderung kita posisikan sebagai nomor dua, kurang tren, kurang populer? Mengapa kita begitu bergairah menomorsatukan produk luar, begitu bersemangat mempopulerkan buatan luar?
Kita punya tenun ikat yang sangat unik. Setiap daerah di NTT bahkan mempunyai motif dan corak sendiri. Perbedaan ini menjadikan tenun ikat kita semakin menarik. Pesona motif dan ragam hias diciptakan melalui perenungan dan konsentrasi tinggi, mengandung nilai filosofis yang diperuntukkan bagi hal-hal yang berkaitan dengan adat dan budaya.
Saatnya kita harus mengalihkan tenun ikat dari sekadar kerajinan individu kepada industri. Batik maju dan menembus pasar dunia karena menjadi industri. Batik telah identik dengan Jawa. Jika harus bermimpi, maka mimpi paling indah kita saat ini adalah tenun ikat NTT punya hak cipta dan punya merk dagang sendiri. *
Pos Kupang edisi Sabtu, 4 Oktober 2008 halaman 1

Selamatkan Kain Tenun Ikat NTT

http://kupang.tribunnews.com/read/artikel/45537/selamatkan-kain-tenun-ikat-ntt

tim Editor
Selamatkan Kain Tenun Ikat NTT 
 
Tentu ini merupakan kebanggaan masyarakat NTT. Dan, yang lebih membanggakan, di seluruh dunia hanya ada tenun ikat khas NTT yang memiliki corak, bahan dan motif yang berbeda dari jenis kain lainnya.

Bila kain batik asal Pulau Jawa yang menjadi kebanggaan orang Jawa, namun kain serupa juga terdapat di Malaysia, China, Thailand, Vietnam negara lainnya di Asia Tenggara, maka tenun ikat NTT tidak ada duanya di dunia. Keunikan corak maupun bahannya tercipta dari proses pembuatannya yang alami. Ditenun- pintal dengan tangan-tangan terampil tanpa bantuan mesin tenun, menjadikan kain tanunan khas NTT memiliki nilai lebih. "Keaslian" proses pembuatannya inilah yang menjadikan kain tenun ikat khas NTT banyak dicari orang.

Namun di tengah pesona kain tenun ikat NTT ini, kita lengah sehingga motif khas NTT mulai nongol pada kain- kain bukan tenun ikat NTT.

Kita masih ingat pada awal tahun 1980-an, kain tenun ikat asal Sumba sudah hampir menjadi pemandangan di hotel-hotel berbintang di Pulau Bali dan Jawa. Kain tenun ikat Sumba dipakai sebagai kain gorden atau hiasan dinding. Namun pada saat yang bersamaan, kain asal Sumba tidak mengalami peningkatan produksi. Artinya kain-kain tersebut dibuat di tempat tempat lain di luar Sumba dengan skala besar.

Kini, di tengah-tengah upaya masyarakat dan Pemerintah Propinsi NTT menjadikan kain tenun ikat sebagai salah satu komoditi yang bernilai ekonomi, muncul kain batik bermotif tenun ikat NTT. Ini tentu merupakan pukulan bagi kain tenun ikat NTT. Dan, ini jelas merugikan perajin tenun ikat NTT.

Sejumlah perajin tenun ikat NTT di Kota Kupang mengaku sangat dirugikan dengan munculnya kain batik bermotif khas NTT yang kini dijual bebas di pasar. Mereka khawatir penjualan batik bermotif NTT itu lambat laun mengganggu usaha yang mereka geluti. Inilah yang sudah dikemukakan Pemimpin Kelompok Perajin Tenun Ikat Ina Ndao, Dorce D Lussi.

Lussi mengatakan, penjualan kain batik bermotif khas NTT berpengaruh terhadap omset penjualan kain tenun ikat NTT yang dihasilkan Kelompok Perajin Ina Ndao. Keluhan yang sama disampaikan perajin tenun ikat lainnya. Mereka tidak ingin usaha keras mereka  melestarikan tenun ikut dalam bentuk usaha kecil ini hancur akibat membanjirnya batik bermotif khas NTT ke pasar-pasar di NTT.

Dalam posisi ini, pemerintah seharusnya mengambil peran. Pemerintah perlu segera memproteksi corak tenun ikat NTT agar tidak "dicuri", diklaim atau ditiru orang lain. Keaslian corak atau motif kain tenun ikat NTT harus segera dilindungi.

Dengan melindungi corak atau motif kain tenun khas NTT, maka usaha para perajin tenun ikat NTT akan terlindungi. Mereka bisa dengan tenang menggeluti usahanya tanpa rasa khawatir seperti yang dialami saat ini.

Selain itu, pemerintah daerah perlu terus mendorong dan menumbuhkan kesadaran masyarakat NTT akan "harta miliknya" yang sangat berharga itu. Masyarakat harus terus didorong agar mencintai warisan budaya leluhur dengan terus mengembangkan usaha tenun ikat NTT dan dengan penuh rasa bangga mengenakannya dan memperkenalkannya kepada masyarakat dunia.

Apa yang sudah "diwariskan" mantan Gubernur NTT, Herman Musakabe yang mewajibkan semua PNS mengenakan kain tenun ikat NTT pada hari-hari tertentu harus diteruskan, bahkan kalau perlu ditingkatkan. Bila sebelumnya PNS diwajibkan berbusana tradisional NTT setiap Kamis, bila perlu ditambah satu hari lagi. Ini merupakan salah satu bentuk dukungan paling nyata terhadap usaha tenun ikat tradisional yang banyak digeluti masyarakat kecil.

Masuknya kain batik bermotif tenun ikat NTT harus disadari sebagai bentuk ancaman serius terhadap keberadaan kain tenun ikat tradisional NTT. Dengan harga yang jauh lebih murah, kain batik bermotif NTT itu  akan menggusur pasar kain tradisional NTT. Dampak lanjutannya adalah usaha tenun ikat bakal meredup dan bukan tidak mungkin akan mati. Kalau ini sampai terjadi maka kita gagal melestarikan warisan budaya nenek moyang kita.

Perlu Dibuatkan Hak Paten

http://kupang.tribunnews.com/read/artikel/66106/perlu-dibuatkan-hak-paten
Perlu Dibuatkan Hak Paten
Beredar Tenun Ikat Made in China
POS-KUPANG.COM, KUPANG -- Tenun ikat merupakan komoditi yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Mengingat, produk khas Nusa Tenggara Timur ini menjadi incaran wisatawan.
Namun, menurut Dorce Lussy dari Sentra Tenun Ikat Ina Ndao mengatakan, akhir-akhir ini, beredar tenun ikat yang bukan produksi NTT.

Sejumlah tenun ikat produk Cina sudah beredar di NTT. Dan, keadaan itu membuatnya hatinya merasa miris.  “Pada  Oktober 2010, saya sempat menangis karena melihat motif tenun ikat dari Cina banyak digunakan di sini,” katanya pada Rapat Koordinasi Peningkatan Produktif Peningkatan Produktivitas dan Nilai Tambah Hasil Produk Olahan Berbasis Komoditi Lokal Unggulan Daerah Berhak atas HAKI yang berlangsung di hotel Pelangi, Jalan Veteran, Rabu (13/7/2011).

Oleh karenanya, mereka berharap, pemerintah bertindak cepat mengenai masalah itu. Salah satunya, pemerintah bisa mengalokasikan dana untuk pembuatan hak paten bagi tenun ikat khas NTT. “Ini adalah budaya yang perlu dilindungi karena itu pemerintah bisa mengalokasikan dana untuk ini,” ujarnya.